Sebuah perjalanan haji dan perjalanan rindu dari para jemaahnya. Dalam sebuah kapal menuju tanah suci, terdapat berbagai kisah dari beberapa jamaah. Berikut adalah kata-kata yang dapat menginspirasi kita, dikutip dari 'RINDU'
“Tidak masalah, Nak. Mata air
yang dangkal, tetap saja bermanfaat jika jernih dan tulus. Tetap segar airnya.”
“Kabar baik bagi kau, karena
ketahuilah, barang siapa yang tulus menolong saudaranya, maka Allah akan
menolong dirinya. Itu janji Tuhan yang pasti. Semoga kau termasuk di dalam
golongan itu.”
“Seumur-umur menjadi koki, aku
tidak pernah bisa mngandalkan kalian. Lebih baik mengandalkan wajan dan
kuali.Mereka tidak pernah terlambat saat dibutuhkan. Tidak pernah mengeluh
meski dibakar nyala api. Dan tidak pernah mengecewakan. Tahan banting itu
wajan. ...”
“Tidak perlu janji. Insya Allah
sudah lebih dari cukup, Nak. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan
terjadi esok lusa.”
“tentu saja bukan perjalanan
kapal ini yang kumaksud. Meski memang jarak Pelabuhan Jeddah masih
berminggu-minggu. Melainkan perjalanan hidup kita. Kau masih muda. Perjalanan
hidupmu boleh jadi jauh sekali, Nak. Hari demi hari, hanyalah pemberhentian
kecil.Bulan demi bulan, itupun sekedar pelabuhan sedang.Pun tahun demi tahun, mungkin
itu bisa kita sebut dermaga transit besar. Dengan segera kapal kita berangkat
kembali, menuju tujuan yang paling hakiki.”
“... Ketahuilah semakin keras kau
berusaha lari, maka semakin kuat cengkramannya. Semakin kencang kau berteriak
melawan, maka semakin kencang pula gemanya memantul, memantul, dan memantul
lagi memenuhi kepala.”
“Kita tidak prlu menjelaskan
panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapapun mengakuinya untuk
dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita
lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak,
tulus atau tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh
catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa
damai dalam hati kita sendiri.”
“... Hidup ini akan rumit sekali
jika kita sibuk mambahas hal yang seandainya begini, seandainya begitu.”
“... Berikanlah maaf karena kau
berhak atas kedamaian dalam hati. Tutup lembaran lama yang penuh coretan
keliru, bukalah lembaran baru. Semoga kau memiliki lampu kecil di hatimu.”
“Apakah cinta sejati itu? Maka
jawabannya, dalam kasus ini, cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati
perasaan itu, maka emakin tulus kau melepaskannya. Persis seperti anak kecil
yang menghanyutkan botol tertutup di lautan, dilepas dengan rasa suka-cita...”
“... Cinta itu ibarat bibit
tanaman. Jika dia tumbuh di tanah yang subur, disiram dengan pupuk pemahaman
baik, dirawat dengan menjaga diri, maka tumbuhlah dia menjadi pohon yang berbuah
lebat dan lezat. Tapi jika bibit itu tumbuh di tanah yang kering, disiram
dengan racun maksiat, dirawat dengan niat jelek, maka tumbuhlah dia menjadi
pohon meranggas, berduri, berbuah pahit.”
“Wahai laut yang temaram, apalah
arti memiliki? Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami.
Wahai laut yang lengang, apalah arti kehilangan? Ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan.
Wahai laut yang sunyi, apalah arti cinta? Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami tertunduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?
Wahai laut yang gelap, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”
Wahai laut yang lengang, apalah arti kehilangan? Ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan.
Wahai laut yang sunyi, apalah arti cinta? Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami tertunduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?
Wahai laut yang gelap, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”
“Gurutta, kita tidak akan pernah
bisa meraih kebebasan kita tanpa peperangan! Tidak bisa. Kita harus melawan.
Dengan air mata dan darah.”

Komentar
Posting Komentar